Jumat, 11 Maret 2011

Kompetensi Sosial Guru

PENDAHULUAN
Dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan nasional, pemerintah khususnya melalui Depdiknas terus menerus berupaya melakukan berbagai perubahan dan pembaharuan sistem pendidikan kita. Salah satu upaya yang sudah dan sedang dilakukan, yaitu berkaitan dengan faktor guru. Lahirnya Undang-Undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, pada dasarnya merupakan kebijakan pemerintah yang didalamnya memuat usaha pemerintah untuk menata dan memperbaiki mutu guru di Indonesia. Michael G. Fullan yang dikutip oleh Suyanto dan Djihad Hisyam (2000) mengemukakan bahwa “educational change depends on what teachers do and think…”. Pendapat tersebut mengisyaratkan bahwa perubahan dan pembaharuan sistem pendidikan sangat bergantung pada “what teachers do and think “. atau dengan kata lain bergantung pada penguasaan kompetensi guru.
Jika kita amati lebih jauh tentang realita kompetensi guru saat ini agaknya masih beragam. Sudarwan Danim (2002) mengungkapkan bahwa salah satu ciri krisis pendidikan di Indonesia adalah guru belum mampu menunjukkan kinerja (work performance) yang memadai. Hal ini menunjukkan bahwa kinerja guru belum sepenuhnya ditopang oleh derajat penguasaan kompetensi yang memadai, oleh karena itu perlu adanya upaya yang komprehensif guna meningkatkan kompetensi guru.
DEFINISI KOMPETENSI
Apa yang dimaksud dengan kompetensi itu ? Louise Moqvist (2003) mengemukakan bahwa “competency has been defined in the light of actual circumstances relating to the individual and work. Sementara itu, dari Trainning Agency sebagaimana disampaikan Len Holmes (1992) menyebutkan bahwa : ” A competence is a description of something which a person who works in a given occupational area should be able to do. It is a description of an action, behaviour or outcome which a person should be able to demonstrate.”
Dari kedua pendapat di atas kita dapat menarik benang merah bahwa kompetensi pada dasarnya merupakan gambaran tentang apa yang seyogyanya dapat dilakukan (be able to do) seseorang dalam suatu pekerjaan, berupa kegiatan, perilaku dan hasil yang seyogyanya dapat ditampilkan atau ditunjukkan.
Agar dapat melakukan (be able to do) sesuatu dalam pekerjaannya, tentu saja seseorang harus memiliki kemampuan (ability) dalam bentuk pengetahuan (knowledge), sikap (attitude) dan keterampilan (skill) yang sesuai dengan bidang pekerjaannya.
Mengacu pada pengertian kompetensi di atas, maka dalam hal ini kompetensi guru dapat dimaknai sebagai gambaran tentang apa yang seyogyanya dapat dilakukan seseorang guru dalam melaksanakan pekerjaannya, baik berupa kegiatan, berperilaku maupun hasil yang dapat ditunjukkan.
DEFINISI KOMPETENSI SOSIAL
Kompetensi sosial yaitu merupakan kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi lisan dan tulisan, menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional, bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua / wali peserta didik, dan, bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar.
INDIKATOR KOMPETENSI SOSIAL
Menurut Panduan Serftifikasi Guru Tahun 2006 bahwa terdapat tiga indikator untuk menilai kemampuan sosial seorang guru, yaitu :
· Bertindak objektif serta tidak diskriminatif karena pertimbangan jenis ke-lamin, agama, ras, kondisi fisik, latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi.
· Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan sesama pendi-dik, tenaga kependidikan, orang tua, dan masyarakat.
· Beradaptasi di tempat bertugas di seluruh wilayah Republik Indonesia yang memiliki keragaman sosial budaya.
· Berkomunikasi dengan komunitas profesi sendiri dan profesi lain secara lisan dan tulisan atau bentuk lain.
TEORI MOTIVASI DALAM KOMPETENSI SOSIAL
Kalau diperhatikan uraian-uraian di atas dapat ditarik benang merah bahwa kunci kompetensi sosial itu ada pada komunikasi, dalam arti sejauh mana guru mampu melakukan komunikasi yang produktif dengan siswa serta pihak-pihak yang berkepentingan dengan pengajaran itu sendiri.
Adapun hal-hal yang menentukan keberhasilan komunikasi dalam kompetensi sosial seorang guru adalah :
1. Audience atau sasaran maksudnya dalam berkomunikasi hendaknya memperhatikan siapa sasarannya, apakah orang berpendidikan atau tidak, apakah masyarakat umum atau pejabat, apakah siswa atau kepala sekolah, apakah siswa SD atau siswa SMA, dan sebagainya. Dengan mengetahui karakteristik sasaran maka sang komunikator pun bisa menyesuaikan gaya dan “irama” komunikasi menurut karakteristik sasaran. Berkomunikasi dengan siswa SD tentu berbeda dengan siswa SMA misalnya.
2. Behaviour atau perilaku maksudnya perilaku apa yang diharapkan dari sasaran setelah berlangsung dan selesainya komunikasi. Misalnya seorang guru sejarah sebagai komunikator ketika sedang berlangsung dan setelah selesai menjelaskan Peristiwa Pangeran Dopinegoro, perilaku siswa apakah yang diharapkan. Apakah siswa menjadi sedih dan menangis merenungi nasib bangsanya, apakah siswa mengepalkan tangan seolah-olah akan menerjang penjajah Belanda, apakah siswa santai-santai saja asal tahu peristiwanya, dsb. Hal ini sangat penting berkait dengan keberhasilan komunikasi guru sejarah tersebut.
3. Condition atau kondisi dalam kondisi apa sasaran ketika komunikasi sedang berlangsung. Misalnya ketika guru Matematika mau menjelaskan rumus-rumus yang sulit harus tahu kondisi siswa, apakah sedang gembira, sedang sedih, sedang lelah habis olah raga, sedang kantuk karena semalam ada acara, dsb. Dengan memahami kondisi seperti ini akan berhasillah komunikasi yang disampaikan oleh guru karena menjelaskan rumus yang sulit dalam situasi siswa sedih tentu berbeda dengan gembira.
4. Degree atau tingkatan maksudnya sampai tingkatan manakah target bahan komunikasi yang harus dikuasai oleh sasaran itu sendiri. Misalnya saja ketika seorang guru Bahasa Inggris menjelaskan kata kerja menurut satuan waktunya, past tense, present tense dan future tense , berapa jumlah minimal kata kerja yang harus dihafal oleh siswa pada hari itu; apakah 10, 20, 30, 40, atau 50 kata kerja. Jumlah minimal kata kerja yang dikuasai oleh siswa sekaligus dapat dijadikan sebagai alat ukur keberhasilan guru Bahasa Inggris dalam mengajar atau berkomunikasi, kalau tercapai adalah berhasil, sebaliknya kalau tidak tercapai adalah tidak berhasil.
MENGEMBANGKAN KOMPETENSI SOSIAL GURU
Setelah memahami pengertian kompetensi sosial dan meteri komunikasi permasalahnya sekarang adalah bagaimanakah cara mengembangkan kompetensi sosial pada guru ?
Cara mengembangkan kompetensi sosial guru adalah dengan memproduktifkan komunikasi guru dengan siswa, dengan sesama guru, dan dengan orang tua / wali siswa. Apabila ketiga sasaran komunikasi tersebut dapat dilakukan dengan baik maka secara langsung kompetensi sosial guru yang bersangkutan akan berkembang.
Cara tersebut kelihatannya relatif mudah karena dalam kesehariannya pekerjaan guru memang bersentuhan dengan siswa dan guru, sedangkan secara periodik bersentuhan dengan orang tua / wali siswa; namun secara kasus per kasus sungguh tidak mudah. Ketika menghadapi siswa yang tidak memiliki motivasi belajar misalnya, betapa sulitnya guru untuk menciptakan komunikasi yang produktif.
Di kota, desa, pinggiran, dan pedalaman hampir semuanya ada siswa seperti itu. Apalagi menghadapi siswa yang tidak memiliki motivasi bersekolah, guru pun lebih sulit lagi menciptakan komunikasi yang produktif. Siswa seperti ini pun, meski relatif sedikit jumlahnya, tetapi ternyata ada di banyak tempat.
Karakter orang tua / wali siswa terhadap pendidikan anak memang beraneka ragam, ada yang sangat perhatian, ada yang acuh tak acuh, dan ada pula yang sama sekali tidak memperhatikan pendidikan anak. Aneka karakter ini berimplikasi pada tingkat kesulitan guru untuk membuat komunikasi yang produktif. Secara umum, pada orang tua yang tidak mempunyai perhatian terhadap pendidikan anak lebih sulit menciptakan komunikasi yang produktif daripada orang tua yang sangat memperhatikan pendidikan anak. Pada orang tua yang tidak perhatian, komunikasi dengan guru anaknya merasa tidak perlu, sebaliknya pada orang tua yang sangat perhatian maka komunikasi itu dianggap sangat perlu. Secara kasus per kasus memang cukup sulit menciptakan komunikasi yang produktif antara guru dengan siswa, sesama guru, dan orang tua / wali siswa, namun itu semua sesungguhnya justru menjadi tantangan untuk mengembangkan kompetensi sosial guru Indonesia.

Pendekatan Contextual Teaching Learning dalam Pembelajaran

BAB I

DESKRIPSI
1.1 Apa Yang Terjadi

Salah satu permasalahan pendidikan yang dihadapi sekolah pada umumnya adalah rendahnya mutu pendidikan. Usaha peningkatan kualitas pendidikan terus dilaksanakan secara sistematis. Pembaharuan pendidikan tersebut merupakan upaya sadar yang sengaja dilakukan dengan tujuan memperbaiki praktek pendidikan dengan sungguh-sungguh. Upaya peningkatan mutu pendidikan salah satunya adalah menciptakan kurikulum yang lebih memberdayakan peserta didik. Untuk itu, perlu dirancang sebuah kurikulum yang berorientasi pada pencapaian tujuan pendidikan nasional yakni menghasilkan manusia yang berkualitas dan berkompeten. Selain itu, mutu pendidikan juga sangat ditentukan oleh pendekatan- pendekatan yang digunakan para guru dalam proses belajar mengajar untuk mencapai tujuan pendidikan. Ketepatan dalam menggunakan pendekatan pembelajaran yang dilakukan oleh guru akan dapat membangkitkan motivasi dan
minat siswa terhadap materi pelajaran yang diberikan, serta terhadap proses dan hasil belajar siswa. Siswa akan mudah menerima materi yang diberikan oleh guru apabila pendekatan pembelajaran yang digunakan tepat dan sesuai dengan tujuan pembelajarannya.
1.2 Apa Yang Seharusnya

Dalam proses pembelajaran sebaiknya pendidik tidak hanya menyampaikan konsep dan teori saja tetapi juga menekankan pada bagaimana caranya agar peserta didik dapat memperoleh konsep dan teori tersebut dalam kehidupan. Agar dapat memperoleh konsep dan teori maka peserta didik perlu dilatih untuk mengamati, mengelompokkan, menaksirkan, meneliti, dan kemudian mengkomunikasikan. Pendidik harus dapat menggunakan pendekatan yang tepat agar peserta didik mendapatakan prestasi belajar yang memuaskan, salah satunya adalah pendekatan kontekstual ( Contextual Teaching and Learnig ).
Pendekatan kontekstual merupakan konsep belajar yang membantu pendidik mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata peserta didik dan mendorong peserta didik membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupan peserta didik sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi peserta didik. Proses pembelajaran belangsung alamiah dalam bentuk kegiatan peserta didik bekerja dan mengalami, bukan trasnfer pengetahuan dari pendidik ke peserta didik. Pada konteks kelas, tugas pendidik adalah membantu siswa mencapai tujuan pembelajaran yang ingin dicapai. Maksudnya, pendidik lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Tugas pendidik mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja sama untuk menemukan suatu yang baru bagi kelas (peserta didik).
Sesuatu yang baru datang dari “menemukan sendiri”, bukan dari “apa
kata guru”. Peningkatan mutu pendidikan dapat dilihat salah satunya dari proses pembelajaran yang berlangsung pada sekolah tersebut, baik metode maupun pendekatan yang digunakan. Proses pembelajaran di Sekolah Menengah Pertama belum sepenuhnya optimal. Hal ini tampak pada proses pembelajaran yang cenderung berpusat pada pendidik, banyak peserta didik yang ramai pada saat pembelajaran berlangsung sehingga konsentrasi peserta didik tidak fokus, keberadaan pendidik kurang mendapat perhatian peserta didik, metode maupun pendekatan yang digunakan guru kurang bervariasi, sehingga peserta didik kurang diarahkan dan berinteraksi dengan obyek dan lingkungan dunia nyata peserta didik.

1.3 Apa Kenyataannya

Pendekatan Kontekstual dirasa paling efektif dalam upaya peningkatan kualitas belajar peserta didik dan pada umumnya dalam upaya peningkatan mutu pendidikan. Namun pada kenyataannya pendekatan kontekstual ini belum sepenuhnya disadari bahkan dilaksanakan oleh seorang pendidik di dalam suatu proses pembelajaran.
Masih banyak kalangan pendidik yang memaksakan siswa untuk menghafal materi bukan memahami materi, sehingga menjadikan siswa tersebut hanya mengerti secara konseptual saja tanpa memahami implementasinya dalam kehidupan nyatanya.
Di sisi lain ketika pendidik mampu untuk mengaplikasikan model pembelajaran kontekstual ini, namun kesiapan dari peserta didik yang masih belum terlihat.
BAB II
ANALISIS
2.1 Pendekatan Kontekstual dalam Proses Pembelajaran
Pembelajaran pada hakekatnya merupakan proses komunikasi transaksional yang bersifat timbal balik, baik antar pendidik dengan peserta didik maupun peserta didik dengan peserta didik untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Komunikasi traksaksional adalah bentuk komunikasi yang dapat diterima, dipahami, dan disepakati oleh pihak-pihak yang terkait dalam proses pembelajaran.
Pendidik menempati posisi kunci dan peran strategis dalam menciptakan suasana (iklim) belajar yang kondusif dan menyenangkan untuk mengarahkan agar peserta didik dapat mencapai hasil belajar yang optimal. Untuk itu, pendidik harus menempatkan dirinya secara dinamis dan fleksibel.
Peserta didik sebagai subyek utama dalam proses pembelajaran di sekolah. Keberhasilan pencapaian tujuan banyak bergantung kepada kesiapan dan cara belajar yang dilakukan oleh peserta didik itu sendiri, baik yang dilakukan secara mandiri maupun kelompok.
Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning) atau biasa disingkat CTL merupakan konsep pembelajaran yang menekankan pada keterkaitan antara materi pembelajaran dengan dunia kehidupan nyata, sehingga peserta didik mampu menghubungkan dan menerapkan kompetensi hasil belajar dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam pembelajaran kontekstual, tugas pendidik adalah memberikan kemudahan belajar kepada peserta didik, dengan menyediakan berbagai sarana dan sumber belajar yang memadai. Pendidik bukan hanya menyampaikan materi pembelajaran yang berupa hapalan, tetapi mengatur lingkungan dan strategi pembelajaran yang memungkinkan peserta didik belajar.
Berkaitan dengan hal tersebut, ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh seorang pendidik dalam upaya mengimplementasikan pemebelajaran secara kontekstual, antara lain :
1. Pembelajaran harus memperhatikan pengetahuan yang sudah dimiliki oleh peserta didik.
2. Pembelajaran harus dimulai dari keseluruhan ( Global ) dan dilanjutkan kepada hal-hal yang lebih khusus (dari umum ke khusus )
3. Pembelajaran harus ditekankan kepada pemahaman, dengan cara :
a. Menyusun konsep sementara.
b. Melakukan sharing untuk memperoleh masukan dan tanggapan dari orang lain.
c. Merevisi dan mengembangkan konsep.
4. Pembelajaran ditekankan kepada upaya mempraktekan secara langsung segala sesuatu yang dipelajari.
5. Adanya refleksi terhadapa strategi pembelajaran dan mengembangkan pengetahuan yang dipelajari.
Melalui pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) pembelajaran yang dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari siswa, diharapkan mampu membawa perubahan ke arah yang lebih baik, lebih memberdayakan siswa dan tidak mengharuskan siswa menghafal fakta-fakta, tetapi lebih mendorong siswa untuk membangun sendiri pengetahuannya melalui interaksi dengan objek belajarnya.
Melalui pendekatan ini juga siswa diharapkan menjadi lebih aktif dalam mengelaborasi segala sesuatu yang berkaitan dengan materi yang diajarkan dalam proses pembelajaran tersebut sesuai dengan apa yang dia ketahui tanpa harus bergantung kepada guru sebagai satu-satunya sumber belajar.
Namun dalam model pembelajaran kontekstual ini tidak selamanya berjalan dengan baik, ternyata model pembelajaran ini belum bisa dilaksanakan dengan baik oleh sebagian pendidik dikarenakan beberapa faktor, diantaranya :
1. Karakteristik peserta didik yang berbeda-beda mengakibatkan seorang pendidik harus mampu menemukan sebuah metode belajar yang cocok untuk semua karakteristik siswa.
2. Moivasi peserta didik untuk berani tampil masihlah sangat kurang, sehingga sangat sulit untuk mengaktifkan suasana belajar.
3. Alokasi waktu yang cukup lama dalam pelaksanaan CTL ini karena peserta didik dituntut untuk menggali sendiri pengetahuannya.
4. Faktor pendidik itu sendiri yang masih bertahan pada proses pembelajaran yang konvensional.
Akibat faktor tersebutlah kebanyakan proses pembelajaran kontekstual menemui jalan buntu untuk hal pengimplementasiannya.
2.2 Solusi dalam Penerapan Pendekatan Kontekstual
Pemilihan strategi pembelajaran dan penggunaan metode pembelajaran sangat menentukan kualitas pengajaran dalam proses belajar mengajar. Kualitas pengajaran terkait dengan penggunaan metode pengajaran yang optimal. Pembelajaran kontekstual menempatkan siswa didalam konteks bermakna yang menghubungkan pengetahuan awal dengan materi yang sedang dipelajari dan sekaligus memperhatikan faktor kebutuhan individual siswa dan peranan guru. Pembelajaran ini berlangsung secara alamiah dimana siswa bekerja (doing) dan mengalami (experiencing), sehingga proses pembelajaran dan produk sangat diutamakan.
Untuk itu ada hal-hal yang harus dilakukan oleh seorang pendidik agar proses pembelajarannya dapat berhasil, khususnya dalam menerapkan model pembelajaran kontekstual ini, yaitu :
1. Merancang metode belajar yang tepat.
2. Dikembangkannya rasa percaya diri para peserta didik dan mengurangi rasa takut.
3. Memberikan kesempatan kepada seluruh peserta didik untuk berkomunikasi ilmiah secara bebas terarah.
4. Melibatkan peserta didik dalam menentukan tujuan belajar dan evaluasinya.
5. Memberikan pengawasan yang tidak terlalu ketat dan tidak otoriter.
6. Melibatkan mereka secara aktif dan kreatif dalam proses pembelajaran secara keseluruhan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Dalam upaya peningkatan mutu pendidikan dan pencapaian tujuan pendidikan saat ini, tentunya menciptakan suatu model pembelajaran yang lebih berpusat kepada peserta didik adalah salah satu solusi yang dirasa paling tepat dalam upaya pencapaian tersebut. Salah satu model pembelajaran yang bisa diterapkan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan dan pencapaian tujuan pendidikan ini adalah melalui model pembelajaran secara kontekstual ( Contextual Teaching and Learning ) dimana model pembelajaran ini diarahkan kepada bagaimana peserta didik dapat memahami konsep yang diajarkan melalui berdasarkan apa yang ada pada kehidupan nyata.
Melalui model pembelajaran ini juga diharapkan peserta didik dapat menjadi pribadi yang berkualitas dan berkompeten, sehingga tidak hanya memahami konsep tetapi juga dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan untuk dapat memecahkan masalah hidupnya.
Ketika dunia pendidikan ini telah bisa menciptakan lulusan seperti dengan kriteria seperti itu, maka tujuan pendidikan pun secara tidak langsung telah tercapai.
3.2 Saran

Guru adalah salah satu faktor penentu dalam menentukan keberhasilan suatu proses pembelajaran. Sebagus apapun pendekatan yang dilakukan dalam proses pembelajaran, jika gurunya tidak memiliki kompetensi, maka proses pembelajaran tersebut pun tidak akan berhasil, untuk itu bagu seorang guru sangatlah penting memperhatikan hal-hal berikut guna menunjang proses pembelajaran yang akan berlangsung, yaitu :

1. Karakteristik dari masing-masing siswa.
2. Metode serta Media yang digunakan dalam proses pembelajaran.
3. Adanya keterkaitan antara materi yang diajarkan dengan keadaan nyata pada saat ini.
4. Evaluasi proses pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA

Sudrajat, Akhmad. 2004. Pokok-Pokok Materi Perkuliahan Kurikulum dan Pembelajaran. Kuningan
Sumber lain :

Perilaku Kelompok dan Pengembangan Tim

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sebuah organisasi dapat memiliki 10 orang anggota, 15 orang, 100 orang, 1.000 orang, atau bahkan lebih. Keseuruhan anggota organisasi itu bekerja sama dalam rangka pencapaian tujuan organisasi. Kemudian agar mereka dapat bekerja lebih efektif, biasanya keseluruhan anggota organisasi tersebut dibagi-bagi ke dalam beberapa kelompok kerja melalui proses pembagian kerja atau spesialisasi.
Kemudian kelompok-kelompok kerja tersebut dapat dimungkinkan dipecah kembali ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil. Selanjutnya, dikarenakan para anggota kelompok sering berinteraksi setiap hari dalam pelaksanaan tugasnya, sangat memungkinkan akan terbentuk kembali kelompok-kelompok persahabatan atau kelompok-kelompok dengan minat atau hobi yang sama.
Kelompok-kelompok dalam sebuah organisasi akan sangat mempengaruhi terhadap keberhasilan pencapain tujuan sebuah organisasi, trutama karena keefektifan kerja yang ditimbulkan oleh adanya kelompok-kelompk tersebut.
Hal tersebut merupakan sebagian kecil daripada perilaku kelompok yang terdapat di dalam sebuah organisasi, maka dari itu melalui makalah ini akan dibahas lebih mendalam mengenai dinamika kelompok dan pengembangan tim khususnya di dalam sebuah organisasi yang akan sangat erat kaitannya dalam hal pencapaian tujuan sebuah organisasi.

1.2 Tujuan Penulisan Makalah
Adapun tujuan dari penulisan malakah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk menambah pengetahuan kita, khususnya dalam memahami perilaku kelompok dan pengembangan tim dalam sebuah organisasi yang erat kaitannya dengan pencapaian tujuan sebuah organisasi.
2. Sebagai salah panduan dalam pelaksanaan proses diskusi kelompok untuk mata kuliah Perilaku Organisasi.

BAB II
PEMBAHASAN
PERILAKU KELOMPOK DAN PENGEMBANGAN TIM

2.1 Perilaku Kelompok
2.1.1 Definisi Kelompok
Adapun definisi kelompok yang dikemukakan oleh beberapa orang ahli adalah sebagai berikut :
1. Menurut Cartwright & Zander ( 1971 )
Kelompok adalah suatu kolektif yang terdiri atas berbagai organisme dimana eksistensi semua anggota sangat penting untuk memuaskan berbagai kebutuhan individu. Artinya, kelompok merupakan suatu alat untuk mendapatkan berbagai kebutuhan individu. Individu menjadi milik kelompok karena mereka mendapatkan berbagai kepuasan ssebaik mungkin melalui organisasi yang tidak dengan mudah mereka dapatkan melalui cara.
2. Wekley dan Yulk ( 1977 )
Mengemukakan bahwa kelompok merupakan suatu kumpulan orang yang berinteraksi satu sama lain secara teratur dalam suatu periode tertentu, dan merasakan adanya ketergantungan diantara mereka dalam rangka mencapai satu atau lebih tujuan bersama.
3. Menurut Marihot Tua Efendi Hariandja
Kelompok merupakan kumpulan dua orang atau lebih yang bekerja sama dalam suatu saling ketergantungan antara satu dengan yang lain serta berinteraksi secara langsung dalam pekerjaan sehari-hari dalam upaya pencapaian tujuan bersama.
Dari tiga pengertian di atas, maka dapat dsimpulkan bahwa pengertian kelompok tidak terlepas dari unsur-unsur berupa keberadaan dua orang atau lebih yang melakukan interaksi dan saling mempengaruhi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Namun ini tidak berlaku bagi sekumpulan individu yang tidak memenuhi unsur-unsur di atas, maka belumlah dikatakan sebagai kelompok misalnya penonton sepakbola yang menjadi sekumpulan individu namu mereka tidak saling mengenal dan tidak melakukan interaksi.
2.1.2 Jenis-Jenis Kelompok
Adapun suatu kelompok dapat diklasifikaikan ke dalam beberapa jenis, antara lain :
1. Kelompok Formal adalah sub unit sah dari organisasi yang telah ditetapkan oleh anggaran dasar atau suatu ketetapan management. Jadi kelompok ini sengaja dibentuk untuk memenuhi tugas yang nyata guna mendukung tugas organisasi.
2. Kelompok Informal adalah kelompok yang muncul sebagai upaya pemenuhan kebutuhan individu dengan mengembangkan tata hubungan dengan anggota lain dalam organisasi. Kelompok informal hanya dapat terbentuk apabila lokasi fisik anggota-anggotanya, sifat pekerjaan, dan jadwal kerja memungkinkan untuk terbentuknya kelompok. Oleh karena itu kelompok informal muncul dari kombinasi antara faktor-faktor formal dan kebutuhan manusia sebagai anggotanya.
3. Kelompok Komando
Kelompok komando adalah kelompok yang terdiri dari individu-individu yang melapor langsung kepada manajer tertentu, atau dengan kata lain kelompok komando adalah manajer dan semua bawahannya.
4. Kelompok Tugas
Kelompok tugas adalah orang-orang yang secara bersama-sama menyelesaikan tugas.
5. Kelompok Kepentingan
Kelompok kepentingan adalah orang-orang yang bekerja sama untuk mencapai tujuan khusus dan yang menjadi perhatian masing-masing orang.
6. Kelompok Pershabatan
Kelompok persahabatan adalah persekutuan social yang sering dikembangkan dari situasi kerja, ditetapkan bersama-sama karena memiliki satu atau lebih karakteristik yang sama.

2.1.3 Alasan Seseorang Tergabung Dalam Suatu Kelompok
1. Faktor Keamanan
Individu yang berada di dalam kelompok bisa mengurangi rasa tidak aman karena sendirian. Merasa lebih kuat, lebih percaya diri, dan lebih tahan terhadap ancaman.
2. Faktor Status
Bergabung ke dalam kelompok yang dipandang penting, memberikan pengakuan dan status bagi para anggotanya.
3. Faktor harga diri
Memiliki harga diri karena menjadi bagian kelompok dan kejelasan status mereka bagi kelompok lain.
4. Faktor Afiliasi
Kelompok bisa memenuhi kebutuhan social anggotanya.
5. Faktor Kekuasaan
Kekuasaan dan kekuatan bisa diraih dengan berada di dalam kelompok yang sulit diperoleh jika sendirian.
6. Faktor Pencapaian Sasaran
Untuk mencapai sasaran dan menyelesaikan tugas dibutuhkan lebih dari satu atau dua orang. Ada kebutuhan mengumpulkan bakat, pengetahuan, atau kekuasaan untuk menyelesaikan pekerjaan.
7. Tuntutan Pekerjaan atau Tugas
Dimana seseorang tergabung dalam suatu kelompok merupakan tuntutan dari pekerjaan yang dimilikinya khususnya dalam mempermudah pencapaian tujuan.

2.1.4 Fungsi Kelompok
Dalam sebuah organisasi, suatu kelompok memiliki fungsi tertentu, diantaranya fungsi kelompok menurut Edgar Schein antara lain :
1. Kelompok menjadi alat untuk melakukan tugas-tugas yang kompleks, dan tugas-tugas yang memerlukan saling ketergantungan antara dua orang atau lebih yang sukar dilakukan secara individu.
2. Kelompok menjadi alat untuk memunculkan ide-ide baru atau alat untuk menyelesaikan tugas secara kreatif.
3. Kelompok dapat menjadi alat koordinasi atau penghubung antara beberapa departemen yang bekerja di dalam kondisi saling saling ketergantungan.
4. Kelompok dapat merupakan suatu mekanisme pemecahan masalah yang membutuhkan pemrosesan berbagai informasi dan interaksi diantara anggota yang memiliki informasi berbeda.
5. Kelompok dapat digunakan untuk membantu pelaksanaan keputusan yang kompleks.
6. Kelompok dapat digunakan sebagai alat sosialisasi pekerjaan dan pelatihan.

2.1.5 Tahap Perkembangan Kelompok
Kelompok merupakan sesuatu yang dinamis. Kemunculan suatu kelompok merupakan suatu proses yang di dalamnya terdiri dari tahapan-tahapan tertentu, diantaranya :
1. Tahap Pembentukan ( Forming )
Pada tahap ini dicirikan oleh banyak ketidakpastian mengenai maksud, struktur, dan kepemimpinan kelompok. Para anggota melakukan uji coba untuk menemukan tipe-tipe perilaku apakah yang dapat diterima baik. Tahap ini selesai ketika para anggota telah mulai berfikir tentang diri mereka sendiri sebagai bagian dari kelompok.
2. Tahap Keributan ( Storming )
Tahap keribuatan adalah tahap komplik di dalam kelompok ( intragrup ). Para anggota menerima baik eksistensi kelompok, tetapi melawan batasan-batasan yang diterapkan oleh kelompok-kelompok individualitas.
3. Tahap penormaan ( Norming )
Tahap penormaan adalah tahap di mana berkembang hubungan yang akrab dan kelompok menunjukan sifat kohesif (saling tarik). Sudah ada rasa memiliki identitas kelompok dan persahabatan yang kuat. Tahap ini selesai jika telah terbentuk struktur kelompok yang kokoh dan menyesuaikan harapan bersama atas apa yang disebut sebagai perilaku anggota yang benar.
4. Tahap Pelaksanaan ( Performing )
Tahap pelaksanaan adalah tahap berfungsinya struktur dan diterima baik. Energy kelompok telah bergeser dari mencoba mengerti dan memahami satu dengan yang lain menjadi pelaksana tugas yang ada.
5. Tahap Peristirahatan ( Adjourning )
Tahap peristirahatan adalah tahap terakhir dalam pengembangan kelompok pada kelompok sementara, dicirikan oleh perhatian kepenyelesaian aktivitas bukannya ke kinerja petugas.

2.1.6 Efektivitas Kelompok
Tujuan utama dari pembentukan suatu kelompok adalah untuk memelihara dan meningkatkan potensi sumber daya manusiadalam mencapai tujuan kelompok pada khususnya dan pencapaian tujuan organisasi pada umumnya. Ini dilakukan melalui upaya penciptaan proses kelompok yang dapat menimbulkan sinergisme yang berartikeseluruhan lebih besar daripada jumlah bagian-bagian, dan melalui pemeliharaan berbagai aspek yang dapat menciptakan iklim ke arah peningkatan hasil kerja.
Hal tersebut mengindikasikan bahwa suatu kelompok dapat dikatakan efektif jika ditandai dengan adanya peningkatan hasil kerja dan tentunya dengan iklim kerja yang mendukung. Oleh karena itu menurut Schermerhorn, terdapat 8 ( delapan ) ciri suatu kelompok yang efektif, yaitu :
1. Para anggota kelompok saling tertarik dan loyal pada yang lain, termasuk kepada pimpinannya.
2. Para anggota kelompok dan pemimpin saling percaya dan jujur antara satu dan yang lain.
3. Nilai dan tujuan kelompok terintegrasi dengan nilai dan tujuan anggota kelompok tersebut.
4. Semua interaksi, aktivitas pemecahan masalah, pengambilan keputusan dari kelompok terjadi dalam suasana yang mendukung, saran-saran, komentar, ide, informasi, dan kritik bersifat membantu.
5. Kelompok memiliki keinginan yang besar untuk mengembangkan potensi anggotanya.
6. Kelompok memahami nilai konstruktif dari kepatuhan, dan mengetahui kapan menggunakannya dn untuk tujuan apa.
7. Terdapat motivasi yang kuatdari sebagian besar anggotanya untuk berkomunkasi secara jujur kepada kelompok tentang semua informasi yang sesuai dan bernilai untuk aktivitas kelompok.
8. Anggota merasa pasti mengambil keputusan yang kelihatannya sesuai dengan mereka.
2.1.7 Faktor Yang Mempengaruhi Efektifitas Kelompok
Efektivitas suatu kelompok akan sangat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor yang sangat terkait dengannya. Faktor-faktor tersebut dapat dikelompokan ke dalam 3 ( tiga ) kategori, yaitu :
1. Faktor Anggota Kelompok ( Competency Factor )
Pengetahuan, keterampilan, kemampuan, dan kepribadian.
2. Faktor Dinamika ( Dinamic Factor )
Struktur kelompok, norma kelompok, kepemimpinan, ukuran kelompok, dan komposisi anggota.
3. Faktor Lingkungan ( External Factor )
Strategi, sistem otoritas formal, peralatan, sistem penggajian, sistem penilaian, rancangan tempat kerja, dan jenis pekerjaan.
Untuk dapat menggambarkan lebih jelas faktor-faktor yang dapat mempengaruhi efektivitas suatu kelompok, dapat dilihat pada bagan berikut :

2.1.8 Pengambilan Keputusan Dalam Kelompok
Dalam pemecahan masalah dalam kelompok, melibatkan semua anggota kelompok, dan yang memegang peranan yang paling tinggi adalah pemimpin kelompok yang mana ia harus dituntut untuk lebih kreatif dan inovatif serta mempertimbangkan sebaik mungkin keputusan yang telah ditetapkan. Namun, tidak semua kelompok pemecahan masalahnya ditentukan oleh pemimpin kelompok, tetapi sumbang saran oleh berbagai anggota kelompok juga salah satu usaha dalam pemecahan masalah dalam kelompok. Misalnya dalam penentuan slogan pada produk baru, maka seluruh anggota diinsruksikan untuk menuangkan ide-ide kreatifnya serta usulan-usulan sebanyak mungkin.

2.2 Pengembangan Tim
Dalam bidang perilaku organisasional, definisi team yang berterima umum adalah sejumlah kecil orang yang memiliki keahlian yang saling melengkapi, yang punya komitmen pada tujuan yang sama, dan melakukan pekerjaan dengan saling bergantung satu dengan yang lain dan bertanggungjawab (Katzenbach and Smith 1999).
Sedangkan Greenberg (1996) mendefinisikan tim sebagai kumpulan dua orang atau lebih, yang memiliki ketertarikan yang sama terhadap sesuatu hal dan memiliki pola hubungan yang tetap/tidak berubah yang berbagi tujuan bersama dan memposisikan diri mereka sendiri sebagai sebuah kelompok. Dari definisi diatas, kita dapat melihat bahwa kedua definisi tersebut sangat mirip. Untuk memperjelas perbedaan antara teams dengan groups, Katzenbach dan Smith, 1999 mengidentifikasi 3 karakteristik utama sebuah team, yaitu:
1. Komitmen
Katzenbach (1999) menjelaskan bahwa team bukan hanya sebuah kelompok yang bekerja bersama, akan tetapi suatu teams bergantung pada sinergi anggotanya yang secara kolektif menghasilkan sebuah hasil akhir yang bukan hanya sekedar penggabungan sederhana dari bagian-bagian pekerjaan individual. Oleh karena itu, team memiliki komitmen untuk mencapai suatu tujuan yang spesifik yang bergantung pada usaha kolektif para anggota team untuk mencapai sukses. Untuk mencapai tujuan ini, anggota team harus belajar untuk saling percaya. Sedangkan group tidak membutuhkan sinergi untuk mencapai tujuan bersama, anggota group seringkali bekerja secara individu lalu kemudian menggabungkan pekerjaan mereka untuk membentuk hasil akhir. Dalam group, unsur kepercayaan bukanlah hal yang penting.
2. Akuntabilitas / dapat dipertanggungjawabkan, dan
Anggota team saling bertanggungjawab untuk mencapai hasil akhir yang berkualitas. Semua anggota team memiliki komitmen pada hasil yang dicapai dan memberikan rasa tanggungjawab pribadi kepada hasil akhir. Disini, unsur kepercayaan sangat penting diantara anggota team, mereka percaya bahwa anggota yang lain akan bekerja secara bersungguh-sungguh dan berkerjasama mencapai tujuan. Sebaliknya, anggota group hanya bertanggungjawab pada sebagian tugas yang menjadi bagian mereka, sepanjang mereka percaya bahwa mereka telah melakukan bagian mereka dengan baik, maka mereka tidak merasa perlu bertanggungjawab jika hasil akhir mereka kurang baik.
3. Keahlian.
Sebuah team terdiri dari individu-individu yang memiliki keahlian dan kompetensi yang saling melengkapi dan menjadikannya sebagai sebuah team yang berbakat, sedangkan anggota group memiliki tingkat keahlian yang relatif sama pada tugas yang akan dikerjakan. Istilah group mengacu pada orang-orang yang punya kepentingan yang sama dalam satu area fungsional. Contoh pada profesi akuntansi, sebuat audit team berdasarkan hirarkinya, terdiri dari: staf auditor, senior, manager dan partner audit, tiap bagian memiliki level keahlian dan kompetensi yang berbeda.

2.2.1 Jenis-Jenis Tim
Robbins (1997) membagi team ke dalam tiga kategori, yaitu
1. Problem Solving Team
Merupakan sebuah tim yang dibentuk untuk mengatasi masalah-masalah yang timbul dalam upaya memperbaiki produktivitas suatu organisasi. Pada problem solving team, ciri-cirinya adalah individu-individu berada pada level yang sama dalam organisasi, melakukan curah pendapat dan bekerja bersama memberikan solusi pada masalah yang khusus dan tidak ada kebebasan penuh untuk merealisasikan saran-saran mereka
2. Self Managed Work Team
Pada self managed work team, tidak ada lagi model atasan bawahan, akan tetapi berganti dengan model pemberian saran dan pengimplementasian solusi dari para anggotanya.
3. Cross Functional Team
Merupakan sebuah tim yang ditujukan untuk menyelesaikan tugas-tugas khusus, misalnya pengembangan produk baru atau perencanaan dan perubahan sistem kompensasi. Pada cross functional team terdiri dari individu-individu yang membawa keahlian-keahlian khusus, talenta dan latar belakang yang berbeda ke dalam sebuah team.
2.2.2 Aspek-Aspek dalam Pengembangan Tim yang Efektif
1. Ukuran tim
Biasanya semakin besar ukuran tim maka efektivitasnya akan berkurang, oleh karena itu sebuah tim harus diusahakan dalam jumlah yang kecil guna mencapai titik optimal.
2. Kemampuan anggota
3. Sumber daya yang diperlukan
4. Pembagian peran dan hetereogenitas
5. Komitmen anggota pada tujuan
6. Sasaran yang spesifik
7. Sistem penilaian kinerja
8. Saling percaya antar sesama anggota tim
9. Pertemuan secara teratur
10. Pelatihan
11. Penghargaan

2.2.3 Tantangan Pengembangan Tim
Pengembangan tim mungkin tidak mudah apabila anggota memiliki nilai-nilai individualistis yang tinggi. Oleh karena itu pengembangan tim dalam sebuah organisasi harus dilakukan melalui seleksi pegawai, pelatihan untuk peningkatan skill, mengubah sikap sehingga menjadi positif terhadap keberadaan tim, dan penilaian kinerja.
Hal-hal tersebut di ataslah yang menjadi tantangan bagi suatu organisasi dalam upaya mengembangkan tim agar dapat menjadi tim yang solid dan efektif. Jika perusahaan mampu melakukan hal-hal tersebut dengan baik, maka akan tercipta suatu tim yang solid dan efektif yang dapat bekerja dengan optimal dan tentunya akan dapat mewujudkan tujuan organisasi secara efektif pula.
BAB III
KESIMPULAN

Kelompok merupakan aspek prnting bagi suatu organisasi dan juga anggotanya. Fungsi kelompok bagi sebuah organisasi menuntut tingkat keefektivitasan kelompok yang sangat tinggi dalam pencapaian tujuan organisasi. Suatu kelompok dapat dikatakan efektif apabila kelompok tersebut dapat menimbulkan peningkatan sinergi yang positif. Sebuah kelompok pun akan sangat mempengaruhi proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh suatu organisasi yang kelak akan menentukan tercapainya tujuan organisasi.
Tim merupakan sebuah kelompok kecil. Tapi tidak semua kelompok dapat dikatakan sebagai tim, karena tim memiliki karakteristik tersendiri. Dalam pengembangan tim tantangan utamanya adalah ketika di dalam organisasi tersebut sudah berkembang penilaian individual dan adanya sistem nilai yang menjunjung tinggi hak-hak individu.
DAFTAR PUSTAKA
Robbins, S. 1997.Essentials of Organizational Behavior. Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall. ( Terjemahan Dalam Bahasa Indonesia )
Tua Effendi, Marihot.2006. Perilaku Organisasi. Bandung : Unpar Press.
Luthans, Fred. 2006. Perilaku Organisasi. Yogyakarta : Penerbit ANDI.
Sumber lain :
http://ichwanmuis.com/?p=1001

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting Coupons