JAKARTA, KOMPAS.com
Persoalan tidak diterimanya rintisan sekolah bertaraf internasional/sekolah bertaraf internasional (RSBI/SBI) oleh masyarakat semakin memantapkan pandangan bahwa kebijakan pemerintah sampai saat ini tidak pernah disertai landasan berpikir yang kokoh. RSBI/SBI adalah satu contoh sebuah program yang tidak dipikirkan dengan matang.
Hanya coba-coba. Kita pun akhirnya curiga, buat apa uang dihabiskan untuk RSBI, bahkan akhirnya kita berpikir lagi soal kastanisasi, karena kok mahal sekali masuk RSBI.
-- Romo E Baskoro
"RSBI/SBI ini kan alasannya biar kita kelihatan bersaing dengan dunia internasional," tegas Direktur SMA Kanisius Romo E Baskoro kepada Kompas.com, Jumat (11/3/2011), terkait dihentikannya pemberian izin baru rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) mulai 2011 setelah didesak banyak pihak.
Akibat kuatnya desakan, saat ini pemerintah sedang mengevaluasi 1.329 SD, SMP, dan SMA/SMK berstatus RSBI yang izinnya diberikan pada 2006-2010. Evaluasi dilakukan sejak Agustus 2010.
"Landasan berpikirnya tidak ada, jadi kalau memang tidak siap tak usah diluncurkan. Selalu dikatakan demi menjawab UU Sisdiknas, nyatanya semua hanya coba-coba. Kita pun akhirnya curiga, buat apa uang dihabiskan untuk itu (RSBI), bahkan akhirnya kita berpikir lagi soal kastanisasi karena kok mahal sekali masuk RSBI," kata Baskoro.
Karnadi, pakar pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ), menambahkan, fokus pemerintah pada RSBI/SBI lebih banyak pada fisik. Sekolah RSBI/SBI hanya sebuah label, sementara sumber daya manusia yang sudah ada untuk mengolahnya tidak siap dan kurang disiapkan.
"Padahal, kalau fisik dan SDM-nya dibentuk dengan baik, produk yang dihasilkannya juga pasti bagus. SDM, terutama gurunya, bukan cuma berbahasa yang perlu disiapkan, tetapi skilnya perlu distandarkan. Saya pikir, kenapa sih bukan SDM gurunya yang diperbaiki, tidak perlu pakai stempel RSBI/SBI dululah," ujar Karnadi.
Karnadi mengungkapkan, jika sudah lebih dari tiga tahun dijalankan, kebijakan pemerintah meluncurkan RSBI/SBI seharusnya sudah selesai dievaluasi. Jika selama itu tidak ada hasilnya, seharusnya tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak mengevaluasi.
"Sekarang ini saya pikir faktor SDM yang terbaik untuk diperbaiki. Dorong sekolah untuk memiliki SDM yang baik dan melaksanakan sistem pendidikan di sekolah dengan jujur. Kalau SDM di semua sekolah sudah standar, saya yakin tidak ada masalah meski tanpa label RSBI/SBI," tandasnya.
Seperti diberitakan, pemerintah menghentikan pemberian izin baru RSBI mulai 2011. Pemerintah sedang mengevaluasi 1.329 SD, SMP, dan SMA/SMK berstatus RSBI yang izinnya diberikan pada 2006-2010.
"Ternyata sekolah bertaraf internasional tidak sederhana. Ini perjalanan panjang yang wajahnya sampai sekarang belum jelas. Karena itu, kami belum berani menyebut sekolah bertaraf internasional (SBI), tetapi masih rintisan SBI. Untuk itu, pemerintah menahan dulu pemberian izin baru RSBI," kata Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Jalal dalam "Simposium Sistem RSBI/SBI: Kebijakan dan Pelaksanaan" yang dilaksanakan British Council di Jakarta, Rabu (9/3/2011).
Hanya coba-coba. Kita pun akhirnya curiga, buat apa uang dihabiskan untuk RSBI, bahkan akhirnya kita berpikir lagi soal kastanisasi, karena kok mahal sekali masuk RSBI.
-- Romo E Baskoro
"RSBI/SBI ini kan alasannya biar kita kelihatan bersaing dengan dunia internasional," tegas Direktur SMA Kanisius Romo E Baskoro kepada Kompas.com, Jumat (11/3/2011), terkait dihentikannya pemberian izin baru rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) mulai 2011 setelah didesak banyak pihak.
Akibat kuatnya desakan, saat ini pemerintah sedang mengevaluasi 1.329 SD, SMP, dan SMA/SMK berstatus RSBI yang izinnya diberikan pada 2006-2010. Evaluasi dilakukan sejak Agustus 2010.
"Landasan berpikirnya tidak ada, jadi kalau memang tidak siap tak usah diluncurkan. Selalu dikatakan demi menjawab UU Sisdiknas, nyatanya semua hanya coba-coba. Kita pun akhirnya curiga, buat apa uang dihabiskan untuk itu (RSBI), bahkan akhirnya kita berpikir lagi soal kastanisasi karena kok mahal sekali masuk RSBI," kata Baskoro.
Karnadi, pakar pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ), menambahkan, fokus pemerintah pada RSBI/SBI lebih banyak pada fisik. Sekolah RSBI/SBI hanya sebuah label, sementara sumber daya manusia yang sudah ada untuk mengolahnya tidak siap dan kurang disiapkan.
"Padahal, kalau fisik dan SDM-nya dibentuk dengan baik, produk yang dihasilkannya juga pasti bagus. SDM, terutama gurunya, bukan cuma berbahasa yang perlu disiapkan, tetapi skilnya perlu distandarkan. Saya pikir, kenapa sih bukan SDM gurunya yang diperbaiki, tidak perlu pakai stempel RSBI/SBI dululah," ujar Karnadi.
Karnadi mengungkapkan, jika sudah lebih dari tiga tahun dijalankan, kebijakan pemerintah meluncurkan RSBI/SBI seharusnya sudah selesai dievaluasi. Jika selama itu tidak ada hasilnya, seharusnya tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak mengevaluasi.
"Sekarang ini saya pikir faktor SDM yang terbaik untuk diperbaiki. Dorong sekolah untuk memiliki SDM yang baik dan melaksanakan sistem pendidikan di sekolah dengan jujur. Kalau SDM di semua sekolah sudah standar, saya yakin tidak ada masalah meski tanpa label RSBI/SBI," tandasnya.
Seperti diberitakan, pemerintah menghentikan pemberian izin baru RSBI mulai 2011. Pemerintah sedang mengevaluasi 1.329 SD, SMP, dan SMA/SMK berstatus RSBI yang izinnya diberikan pada 2006-2010.
"Ternyata sekolah bertaraf internasional tidak sederhana. Ini perjalanan panjang yang wajahnya sampai sekarang belum jelas. Karena itu, kami belum berani menyebut sekolah bertaraf internasional (SBI), tetapi masih rintisan SBI. Untuk itu, pemerintah menahan dulu pemberian izin baru RSBI," kata Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Jalal dalam "Simposium Sistem RSBI/SBI: Kebijakan dan Pelaksanaan" yang dilaksanakan British Council di Jakarta, Rabu (9/3/2011).
Sumber : http://kompas.com/
0 komentar:
Posting Komentar